Para ulama telah membahas masalah bolehkah mengambil zakat dengan qimah, yakni sesuatu yang senilai dengannya. Misalnya dalam masa pandemi corona, zakat maal dibayar dengan wujud sembako pada yang berhak menerima.
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menyatakan, “Tidak boleh mengambil qimah dari harta yang kena kewajiban zakat karena kadar wajib dalam zakat sudah ditetapkan oleh Allah. … Kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya yang berkewajiban bayar zakat terhalang menunaikannya dan imam atau yang menarik tidak menjadi harta dari barang yang sejenis dengannya, maka boleh mengambil harta yang ditemukan saat itu. Begitu pula ketika darurat ketika ingin menyerahkan kepada orang miskin, jika tidak dapati harta yang sama dengan harta zakat–seperti harusnya untuk lima ekor unta, zakatnya adalah satu ekor kambing, namun tidak dapat, boleh saja mengeluarkan zakat itu dengan beberapa dirham. … Sebagaimana apabila pemerintah mengharuskan mengeluarkan zakat dengan qimah, bisa diambil dari yang wajib zakat seperti itu dan dianggap sah.” (Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:53-54)
Dalam Mulakhash Fiqh Al-‘Ibaadaat (hlm. 626) disebutkan, “Mengeluarkan zakat dengan qimah (sesuatu yang nilainya sama dengan kewajiban zakat)—selain untuk zakat fitrah—kalau itu karena ada hajat atau maslahat yang besar dianggap sah. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pilihan pendapat dari Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana dengan hukum orang yang mengeluarkan zakat dengan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat, semisal uang)? Karena jika dikeluarkan dengan qimah akan lebih bermanfaat untuk orang miskin. Seperti itu boleh ataukah tidak?”
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab, “Mengeluarkan zakat dengan qimah dalam zakat, kafarat, dan semacamnya, maka telah makruf dalam madzhab Malik dan Syafi’i akan tidak bolehnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan. Adapun Imam Ahmad rahimahullah dalam salah satu pendapat melarang mengeluarkan zakat dengan qimah. Namun di kesempatan lain Imam Ahmad membolehkannya. Ada sebagian ulama Hambali mengeluarkan perkataan tegas dari Imam Ahmad dalam masalah ini dan ada yang menjadikannya menjadi dua pendapat.
Pendapat terkuat dalam masalah ini: mengeluarkan zakat dengan qimah (nilai) tanpa ada kebutuhan dan maslahat yang lebih besar jelas terlarang. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan zakat dengan dua unta atau 20 dirham, dst dan beliau tidak beralih pada uang seharga barang-barang tadi. Karena jika kita nyatakan boleh secara mutlak pengeluaran zakat dengan uang senilai, maka nanti si pemberi zakat akan mengeluarkan dari yang jelek dan akan memudhorotkan si penerima zakat dalam perhitungan. Karena zakat dibangun atas dasar ingin menyenangkan orang yang butuh. Kita dapat melihat hal ini dari besarnya zakat yang dikeluarkan dan jenis zakat tersebut.
Adapun mengeluarkan zakat jika terdapat hajat (kebutuhan), maslahat dan keadilan, maka boleh saja dikeluarkan dengan qimah (sesuatu yang senilai). Semisal seseorang menjual kebunnya atau tanamannya dan memperoleh uang dirham. Lalu ia keluarkan zakat hasil pertanian dengan dirham tadi, ini boleh. Ia tidak perlu bersusah payah membeli buah atau gandum sebagai zakatnya. Karena seperti ini pun telah sama-sama menyenangkan si miskin. Bahkan ada nash dari Imam Ahmad akan bolehnya hal ini.
Contohnya lagi, bagi yang memiliki lima ekor unta, maka ia punya kewajiban berzakat dengan seekor kambing. Namun sayangnya, kala itu tidak ada seorang pun yang mau menjualkan seekor kambing untuknya. Akhirnya, ia mengeluarkan zakat dengan sesuatu yang senilai (qimah). Jadi ia tidak perlu bersusah payah bersafar ke kota lain untuk membeli kambing.
Atau contoh lain, seseorang yang berhak menerima zakat (semisal fakir miskin) meminta agar diberikan sesuatu yang senilai dengan harta zakat, lalu mereka diberi seperti itu atau ini dirasa lebih bermanfaat bagi orang miskin, maka itu boleh. Sebagaimana dinukil dari Mu’adz bin Jabal bahwa ia berkata pada penduduk Yaman, “Berikan padaku pakaian atau baju yang mudah dan baik menurut kalian yang nanti akan diserahkan pada orang Muhajirin dan Anshor di Madinah.” Ada yang mengatakan riwayat tadi membicarakan masalah zakat dan ada yang mengatakan pada masalah jizyah (upeti).” Demikian perkataan Ibnu Taimiyah. (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:83)
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu,
مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
“Barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah (unta betina berumur 4 tahun) sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun); maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat hiqqoh sedangkan dia tidak memiliki hiqqoh namun dia memiliki jadza’ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia diberi dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah terkena kewajiban zakat hiqqoh namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun (unta berumur 2 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqoh; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu makhod, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.“ (HR. Bukhari no. 1453)
Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya.
Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman,
ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ
“Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.” (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad-, dan disambungkan oleh Yahyaa bin Aadaam dalam Al-Kharaaj no. 525 dengan sanad shahih sampai Thowus bin Kaisan). Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan.
Kesimpulannya, masih boleh mengeluarkan zakat maal dengan wujud sembako. Misalnya, zakat 2,5% dari tabungan adalah 5 juta rupiah, bisa saja 5 juta ini diwujudkan dalam bentuk sembako dan dibagikan pada mereka yang berhak menerima zakat.
Baca Juga:
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Malam Kamis, 7 Ramadhan 1441 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com